Senin, 16 Juni 2008

PEGUNUNGAN JAYA WIJAYA


Papua, SULIT dipercaya, saat melihat sebuah pemandangan salju yang berada di daerah panas karena beriklim tropis. Terlebih jika pemandangan salju itu terhampar di puncak-puncak gunung dengan dindingnya yang berwarna kehitaman.Inilah pengalaman berkesan bagi tim saat berada di atas Pegunungan Jayawijaya. Tidak seluruh puncak dari gugusan Pegunungan Jayawijaya yang memiliki salju. Salju yang dimiliki oleh beberapa puncak bahkan saat ini sudah hilang karena perubahan cuaca secara global. Saat ini, salju yang tersisa hanya berada di Puncak Jaya, Meren, Northwall, dan Ngga Pulu. Sebelum berubah nama menjadi Puncak Jaya, puncak ini dahulunya bernama Carstenz Pyramide.Puncak Jaya yang bersalju ini merupakan salah satu puncak gunung gletser yang ada di kawasan khatulistiwa, seperti puncak es lainnya yang berada di Afrika dan Amerika Selatan. Adalah suatu keberuntungan jika kita dapat melihatnya karena kawasan puncak dengan salju di pucuknya ini merupakan satu-satunya di Indonesia. Beruntung pula tim mendapat izin untuk melihat dan mengambil gambar panorama puncak es ini. Setelah mendapat izin dari Kepala Hanggar Jhon Solang, tim menggunakan sebuah helikopter dan berputar-putar sekitar 30 menit di puncak gunung yang ditutupi salju tersebut.Dari udara, puncak tersebut mirip bebatuan hitam dengan permadani putih yang lembut. Saat matahari sedang bersinar cerah, hamparan salju itu memantulkan cahaya yang menyilaukan mata. Pandangan mata akan lebih nikmat saat langit sedang berawan sehingga hamparan salju itu akan memunculkan kesan kedamaian di tengah teduhnya cuaca. Sulit mencari pembandingPuncak dengan lereng yang sangat curam itu menampilkan pesona alam yang sulit dicari bandingannya. Dindingnya yang hitam berdiri hampir tegak lurus dengan permukaan tanah yang berada ratusan meter di bawahnya. Salju terlihat begitu lembut dan seperti memanggil-manggil setiap manusia yang melintasinya. Tangan ini seperti sudah tidak sabar untuk menyentuh lembutnya salju yang laksana kapas tersebut.Pemandangan salju es sungguh memukau. Apalagi jika memasuki akhir tahun di mana musim dingin dan hujan tiba. Di musim itu, biasanya salju menutupi hampir semua puncak Pegunungan Jayawijaya hingga ke lereng di bawahnya.Usai pengambilan gambar, anggota tim seperti tercenung. Entah apa yang ada di dalam pikiran, mereka seperti sedang merenungi salju abadi yang bertengger di batu cadas yang menjulang tinggi. Sebuah pengalaman tersendiri saat menikmati kebesaran alam. Maka tak salah jika dulu, orang Belanda menyebut kepulauan Nusantara sebagai 'Untaian Zamrud di Khatulistiwa' dengan Papua sebagai salah satu induknya."Hei, lihat! Itu Membramo, sungai terbesar di Papua," tunjuk sang pilot. Dari pintu heli terlihat alur sungai yang melingkar-lingkar seperti ular. Di ketinggian 5.000 mdpl, sungai terlihat jelas. Warnanya kecokelatan dengan hijaunya pepohonan yang berada di sepanjang tepian sungai. Dari ketinggian, eloknya alam Papua membuat orang terpana karena tak ada bandingannya. Terkadang awan tebal menutupi pemandangan di bawah. Namun, beraraknya awan di bawah heli pun tampak menawan dengan warna putihnya yang menghiasi langit nan biru. Namun di balik keindahan dan kesan damai dari pemandangan salju itu, sungguh berat usaha yang harus dilakukan untuk mendapatkannya. Bukannya birokrasi perizinan yang rumit, namun kekuatan fisik menjadi beban tersendiri. Pasalnya, kadar oksigen yang terkandung dalam udara pada ketinggian sekitar 5.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut, sangatlah tipis. Hanya tinggal sepuluh persen! Artinya, jika saat ini kita mampu menghirup udara dalam-dalam dan rongga dada tidak terasa sakit, itu berarti kadar oksigennya 100%. Namun di ketinggian tersebut, dada terasa sesak karena sedikitnya asupan oksigen yang masuk ke dalam tubuh. Saraf otak yang tidak mendapat cukup oksigen akan membuat kepala terasa pusing, mata mengantuk, dan tubuh akan terasa lemas. Hal ini diperparah dengan rendahnya suhu udara yang berada di bawah nol derajat Celsius. Rongga hidung akan terasa perih karena menghirup dinginnya udara. Meski sudah mengenakan jaket tebal, dinginnya udara tetap terasa hingga tulang. Persendian tulang perlahan-lahan akan terasa nyeri. Karena tidak menggunakan sarung tangan, dua orang kamerawan yang bertugas mengambil gambar pun sudah sulit menggerakkan jarinya meski hanya untuk menekan tombol kamera. Terlebih saat mereka harus memutar-mutar lensa tele-nya supaya mendapat kualitas gambar yang baik. Jari mereka terasa keras dan kaku untuk bergerak. "Sungguh sulit untuk mendapatkan gambar yang bagus. Kami memang tidak memperhitungkan sebelumnya bahwa harus mengenakan sarung tangan yang tebal. Udara dingin membuat telapak tangan mengeras sehingga jari-jari terasa kaku. Sesekali saya harus memasukkan telapak tangan ke dalam celana dan menjepitnya di antara kedua paha supaya mendapatkan kehangatan. Berat sekali tantangan yang harus kami hadapi," tutur Agus Mulyawan, fotografer Media."Tapi, ini sungguh sebuah pemandangan yang memukau. Bertahun-tahun menyelami dunia fotografi, baru kali ini saya mendapatkan sudut pengambilan gambar yang tidak ada habis-habisnya. Dari mana saja sudut pandangnya, pemandangan akan terlihat indah. Sayang, kekuatan tubuh membuat kami tidak dapat berlama-lama di sana," timpal anggota tim yang lain.(Msc/S-5

pegunungan




jalannya meliuk-liuk, di daerah pegunungan biasanya jalannya meliuk-liuk seperti ular atau cacing, apabila anda menyetir kendaraan maka anda atau kita harus ektra hati-hati untuk meyakinkan bahwa kita benar-benar sampai di tujuan, bukan ke yang lain. Tapi biasanya pemandangannya indah sekali dengan udaranya yang sejuk.